Ada sebuah paradoks finansial yang saya sadari: Expenditure rises to meet income. pengeluaran akan selalu menyesuaikan diri dengan kenaikan pendapatan. Ketika kuliah, uang satu juta rupiah cukup untuk biaya hidup sebulan. Anehnya, setelah bekerja dengan penghasilan yang jauh lebih tinggi, nominal yang saya peroleh tersebut terasa “cukup” juga, nyaris tak ada yang tersisa di akhir bulan.
Kesadaran ini memuncak ketika saya dilantik sebagai PNS pada bulan Februari. Status saya yang tak lagi CPNS berarti saya menerima gaji pokok dan tunjangan kinerja (tukin) secara penuh, tidak lagi 80%. Saya melihat tambahan penghasilan ini sebagai sebuah momentum. Alih-alih membiarkannya hilang tersapu kenaikan gaya hidup, saya bertekad mengalokasikannya pada sesuatu yang lebih fundamental.
Beberapa opsi sempat terlintas dibenak saya. Membeli mobil? Rasanya belum menjadi kebutuhan mendesak, ditambah lagi biaya perawatannya yang pasti tidak sedikit. Membeli rumah di Jabodetabek? Gagasan ini pun saya kesampingkan. Saya masih menganggap Jakarta adalah kota yang terlalu riuh untuk menghabiskan masa pensiun. Saya membayangkan masa tua di kota yang lebih tenang. Maka, membeli properti di sini bukanlah pilihan yang tepat untuk saat itu.
Setelah berdiskusi dengan beberapa teman, sebuah keputusan besar akhirnya terbentuk, keputusan yang saya harap tepat karena akan berdampak signifikan pada beberapa tahun ke depan. Saya memutuskan untuk membangun rumah kontrakan di atas tanah warisan milik Ibu di Lampung. Di atas tanah seluas 24×10 meter persegi yang dihibahkan kepada saya, saya berencana membangun empat unit rumah. Inspirasi denahnya, secara tak terduga, datang dari TikTok. Kriteria saya saat itu sederhana: setiap unit wajib memiliki dua kamar tidur dan carport yang luas.
Denah selesai, tantangan berikutnya adalah menemukan mandor yang tepat. Mengingat lokasi kerja saya yang jauh dari Lampung, saya memutuskan untuk menggunakan sistem borongan penuh hingga serah terima kunci. Setelah mengundang beberapa mandor untuk survei dan melalui beberapa tahap negosiasi, kesepakatan tercapai di angka Rp300 juta untuk empat unit rumah dengan total luas bangunan 148 meter persegi. Harga per meternya yang hanya sekitar Rp2 juta, sudah mencakup semua bahan dan biaya, membuat rekan-rekan kantor saya cukup terkejut karna murahnya.
Urusan denah dan mandor telah rampung, kini tibalah bagian tersulit: mencari sumber dana. Tentu saja, saya tidak memiliki uang tunai sebanyak itu. Akhirnya, jalan keluar yang terpikirkan adalah ‘menyekolahkan’ SK PNS yang baru beberapa hari di tangan. Lucunya, saat itu saya sendiri belum mendapat izin untuk melanjutkan sekolah, tapi ternyata SK PNS saya lah yang ‘bersekolah’ lebih dulu.
8 Maret 2024 : Pekerjaan resmi dimulai, dimulai dari pembersihan pekarangan tanah yang akan dibangun.

27 Juni 2024 : Pembangunan rumah sudah selesai dan siap ditempati, tingggal merapihkan perkarangannya saja.

Pembangunan kurang lebih memakan waktu hampir 4 bulan sejak awal dikerjakan dan sekarang kontrakannya sudah terisi semua. Memang hasil dari kontrakannya tidak 100% menutup biaya cicilan saya ke bank, tapi lumayan saya hanya menambahkan sedikit setiap bulannya.